SOSOK Habib Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri, atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua, tak hanya dikenang sebagai ulama besar dalam sejarah Islam di Sulawesi, tetapi juga sebagai figur pemersatu lintas agama. Hal ini disampaikan oleh Wijaya Chandra, Ketua Pengurus Daerah Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) Sulawesi Tengah, dalam testimoni di acara Haul Guru Tua ke-57 di Palu, Sabtu (22/1).
Menurut Wijaya, ketokohan Guru Tua telah melampaui sekat-sekat agama. Ajaran yang disampaikan beliau bukan hanya menyentuh umat Islam, tetapi juga menciptakan dampak sosial dan spiritual yang luas di masyarakat lintas kepercayaan.
“Guru Tua bukan hanya menyebarkan ajaran agama Islam, tapi juga membawa pendidikan dan pencerahan hingga ke pelosok Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah. Beliau adalah simbol kebangkitan spiritual dan kebersamaan antarumat beragama,” ungkap Wijaya.
Wijaya menekankan, nilai-nilai yang diajarkan Guru Tua sarat dengan kemanusiaan. Ia menyebut bahwa ajaran Islam yang dibawa Guru Tua sangat humanis, menjunjung tinggi nilai toleransi dan saling menghormati. Hal ini dirasakan langsung oleh masyarakat Sulawesi Tengah, termasuk komunitas non-Muslim seperti umat Buddha.
“Saya sangat yakin dengan ajaran beliau yang begitu menghargai kemanusiaan. Masyarakat Sulteng telah hidup rukun dalam keragaman berkat nilai-nilai luhur yang diwariskan Guru Tua. Tidak ada sekat, tidak ada diskriminasi. Kami hidup berdampingan dalam damai,” tambahnya.
Menurut Wijaya, setiap zaman melahirkan pahlawannya sendiri. Guru Tua adalah salah satu tokoh yang kehadirannya menandai perubahan besar dalam peradaban di Indonesia Timur. Ia tak hanya dikenal karena kiprahnya sebagai ulama, tetapi juga sebagai pendidik dan reformis sosial.
“Setiap pahlawan punya zamannya. Dan kini, ketika pemerintah menetapkan beliau sebagai Pahlawan Nasional, itu adalah bentuk pengakuan atas karya besar beliau dalam dunia pendidikan dan dakwah. Kami sangat mendukung penuh keputusan tersebut,” ujarnya.
Guru Tua memang dikenal tidak hanya sebagai pendakwah, tetapi juga sebagai pendiri sistem pendidikan Alkhairaat, yang hingga kini memiliki pengaruh besar di Indonesia bagian timur. Lewat syair, dakwah, dan lembaga-lembaga pendidikan yang ia dirikan, Guru Tua telah menanamkan akar-akar peradaban baru yang menyatukan ilmu dan akhlak.
Wijaya menuturkan, kehadiran Guru Tua menjadi berkah bagi seluruh umat beragama di Sulawesi Tengah. Bagi komunitas Buddhis, Guru Tua adalah contoh nyata bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang untuk hidup dalam harmoni.
“Kami sangat bersyukur memiliki tokoh seperti Guru Tua. Beliau mewariskan keindahan dalam kehidupan beragama. Sebagai pemuka agama Buddha, saya merasa bangga bisa turut menyuarakan bahwa beliau memang layak menyandang gelar Pahlawan Nasional,” ujar Wijaya Chandra.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus menjaga warisan nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang telah ditanamkan Guru Tua.
“Marilah kita jaga bersama warisan ini. Jangan biarkan perbedaan menjadi jurang, tapi jadikan ia sebagai jembatan untuk saling mengenal dan memahami,” pungkasnya.(*)